Pernikahan Beda Agama
Nikah beda agama di Indonesia terputuskan dua keputusan oleh MUI
berdasarkan musyawarah Nasional II pada tahun 1980. Keputusan pertama adalah
wanita muslim yang menikahi pria non-muslim adalah haram, dan keputusan kedua
adalah pria muslim yang menikahi wanita non-muslim boleh dengan bersyarat,
wanita tersebut haruslah ahli-kitab (merujuk pada nasrani) karena umat Islam
juga mengakui Injil sebagai kitab suci, Al-Quran mensyaratkan demikian. Namun
pria muslim tidak boleh menikahi wanita Budha, Hindu dan lainnya yang bukan
Ahli Kitab. Kami kurang mengetahui dan tidak membahas apakah wanita ahli kitab
terdahulu apakah sama dengan yang sekarang karena ada isu terjadi revisi dalam
Injil terkini, sehingga terjadi pergeseran akidah (dan apakah status wanita
Ahli-Kitabnya terhapus dengan keadaan ini).
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu…” (QS: al-Baqarah:221).
Keharusan wali nikah beragama Islam adalah hal yang mutlak dan menjadi syarat sah yang harus dimiliki oleh seorang wali. Perlu diketahui bahwa syarat seorang wali itu ada 6 hal:
1. Muslim
2. Berakal (tidak gila)
3. Baligh
4. Adil
5. Merdeka (tidak berstatus budak)
6. Laki-laki
Bila salah satu syarat dari keenam syarat itu tidak terpenuhi, maka seseorang tidak berhak untuk menjadi wali atas sebuah akad nikah.
Khusus dalam syarat ke-Islaman, ada pengecualian tersendiri dalam kasus khusus. Yaitu apabila wanita yang dinikahkan itu bukan beragama Islam,melainkan seorang wanita pemeluk agama ahli kitab (Nasrani atau Yahudi), maka tidak perlu walinya seorang muslim juga.
Titik masalahnya adalah karena seorang muslim atau atau muslimah tidak boleh diwalikan oleh non muslim. Namun bila pengantin wanita belum lagi menjadi muslimah, maka tidak ada masalah dengan agama sang wali, boleh saja walinya itu juga bukan muslim.
Jadi keharusan wali beragama Islam lantaran karena dia menjadi wali buat seseorang yang beragama Islam. Di dalam hukum Islam, seorang yang bukan muslim tidak berhak dan juga tidak sah menjadi wali bagi seorang muslim. Namun bila yang diwalikan bukan muslim, maka tidak ada masalah.
Dan sebagaimana sudah dibahas berkali-kali di sini tentang pendapat jumhur ulama yang membolehkan wanita ahli kitab dinikahi oleh laki-laki muslim, bila ayah kandung wanita tersebut juga bukan muslim, sudah bisa dijadikan wali dan sah apabila menjadi wali baginya. Sebab wanita itu bukan wanita muslimah.
Adapun larangan menikah dengan orang
musyrik dinyatakan oleh Allah SWT:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Janganlah kalian
menikah dengan perempuan kafir musyrik sebelum mereka beriman (memeluk ugama
Islam). Sesungguhnya seorang hamba perempuan yang beriman itu lebih baik
daripada perempuan kafir musyrik sekalipun menarik hati kamu. Janganlah kalian
(menikahkan perempuan Islam) dengan lelaki kafir musyrik sebelum mereka beriman
(memeluk agama Islam). Sesungguhnya seorang hamba lelaki yang beriman lebih
baik daripada seorang lelaki musyrik sekalipun menarik hati kalian (Yang
demikian ialah) karena orang-orang kafir itu mengajak ke neraka sedangkan Allah
mengajak ke surga dan memberi keampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah
[2]: 221).
Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang
diturunkan setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah. Demikian juga ayat berikut:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada masa ini
dihalalkan bagi kalian (memakan makanan) yang lezat-lezat dan baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu adalah halal bagi
kalian. Makanan (sembelihan) kalian pun halal bagi mereka (tidak salah kalian
memberi makan kepada mereka). (Dihalalkan kalian menikah) dengan perempuan yang
menjaga kehormatan-nya di antara perempuan yang beriman, juga
perempuan-perempuan yang menjaga kehor-matannya dari kalangan orang-orang yang
diberikan Kitab lebih dulu daripada kalian jika kalian memberi mereka
maskawinnya, sedang-kan kalian (dengan cara yang demikian) menikah, bukan
berzina, dan bukan pula kalian mengambil mereka menjadi perempuan
simpanan (QS al-Maidah [5]: 5).